Monday 15 April 2013

cinta pertama

'Sayang, ada surat nih buat kamu.', suara ibu terdengar sesaat setelah aku menghempaskan tubuhku di atas kasur. Surat? Surat apa? Dari siapa? Emang sekarang masih jaman surat-suratan ya?. Tak ingin lama-lama berpikir, aku segera menuruni tangga menuju datangnya arah suara.

'Dari siapa, bu?'
'Nih, lihat aja sendiri.', disodorkan surat coklat tebal itu kepadaku. Sambil mencari nama pengirim, aku duduk di sofa ruang tamu. Dahiku mengernyit. Dia? Mantanku? Cinta pertamaku? Ada apa nih? Kabar terakhir sih dia pindah ke Sumatra. Lekas saja aku buka bungkus coklatnya. Mataku terbelalak ketika mendapati isinya. Undangan. Bukan undangan khitan adiknya, karena adiknya perempuan. Tapi itu undangan pernikahan dia. Langsung kuseret langkahku, menaiki tangga, kembali ke kamar, tak lupa membawa surat undangan pernikahan dia.

Aku menghela nafas untuk kesekian kalinya. Huft... Nikah ya? Bibirku menyunggingkan senyum getir. Secepat ini? Huft.. Kembali aku menghela nafas panjang. Kubuka lemari, dengan cepat kutemukan buku harian jaman SMA dulu, jaman awal kita pacaran. Jemariku mulai mengayun di deretan foto. Foto kita. Foto siapa lagi? Cuma kamu yang ada di hatiku, waktu itu.

Aku ingat ketika awal kita berkenalan di lapangan olahraga. Tubuhmu penuh peluh, dan aku bertanya 'Toiletnya dimana ya?'. Kamu tertawa geli, kemudian dengan senang hati mengantarkan aku yang sudah kebelet ini ke toilet. Ternyata kamu masih menungguku, dan mengajakku berkenalan denganmu.

Aku ingat ketika kamu mengajak aku yang kurang gaul ini nonton. Waktu itu baru pertama kalinya aku ke bioskop. Hihihiii... ya jadi maklum aja kalo aku celingak celinguk kayak orang udik, kamu hanya tersenyum dan membelai lembut kepalaku.

Aku ingat ketika pertama kali kamu membawa aku ke rumahmu, mengenalkanku pada kedua orangtuamu. Mereka begitu senang melihatku. Entah karena aku cantik, atau karena kamu yang jarang mengajak perempuan ke rumah. Yang jelas renyah suara ibumu saat menyambutku masih bisa kudengar sampai sekarang.

Aku ingat ketika pada akhirnya kamu bertemu ayahku. Tangan gemetaran, perutku juga terasa mulas. Tak pernah aku mengenalkan pacarku sebelumnya. Kamu yang pertama. Tapi sayang, orangtuaku kurang bisa menerimamu berpacaran dengan putri satu-satunya ini. 'Pekerjaanmu kurang jelas.', katanya.

Aku ingat kamu pernah bilang 'Kamu tenang aja, setelah aku lulus dan dapet kerja, aku bakalan datang lagi ke kamu, buat ngelamar kamu, buat yakinin orangtuamu kalo aku bisa. Kamu tunggu ya..'. Ah, sampai kapan aku harus menunggu? Kamu tak kunjung datang. Bahkan di suksesmu kamu seakan melupakan aku. Melupakan janji kita. Hari itu aku menunggumu sampai malam datang. Ah, sampai esok pagipun kamu tak datang.

Huft... Masih lekat pula dalam ingatanku ketika kamu menghubungiku kembali. Senang dan kecewa hati ini jadi satu. Kamu bercerita panjang lebar tentang kemajuan bisnismu, suksesnya pekerjaanmu, seolah-olah kamu lupa, tak pernah menjanjiakan apapun. Aku hanya tersenyum. Saat kamu meminta cintaku kembali, kumenolak. Aku sudah bersama yang lain.

Ah, sudahlah. Aku doakan kamu bahagia bersamanya. Mataku mulai terpejam, namun sebelum aku terbawa ke alam mimpi, aku dibangunkan oleh dering handphoneku. Ada SMS masuk, 'Sayang, kamu udah coba survey kateringnya belom? Ini aku ada opsi tempat bagus lagi nih.'. Aku tersenyum. Dari calon suamiku. Kubalas cepat 'Udah, sayang. Yang tadi enak juga kok.'.

Aku tersenyum. Pernikahanku satu bulan setelah pernikahan cinta pertamaku. Lucu ya, dulu kita berjanji akan duduk di pelaminan bersama. Namun Tuhan punya rencana lain, kita menikah di tahun yang sama namun dengan pasangan yang berbeda. Semoga kamu bahagia. Semoga aku bahagia. Kenapa aku tidak menuliskan 'semoga kita bahagia'? Karena sudah tidak ada lagi kata 'kita' diantara kamu dan aku.

-Wilanda Permaisuri-
150413

6 comments:

  1. T_________________T mewek

    ReplyDelete
  2. duh galau lagi, katanya udah unya aa' dan udah move on kok masih galau

    ReplyDelete
  3. hahaha...
    kayak abca true story nih :D
    maniiiis ceritanya ^^

    ReplyDelete